COP30, konferensi perubahan iklim PBB yang ke-30, membuka diskusi global di Belem dengan penekanan pada kerja sama Selatan-Selatan. Para pemimpin dunia dan pakar menyerukan dorongan baru untuk memperkuat kolaborasi antar negara berkembang demi tata kelola iklim yang lebih baik.
“Kita berada di sini, di Belem, di muara Sungai Amazon,”
ujar Simon Stiell, sekretaris eksekutif dari UNFCCC, menggambarkan pentingnya aliran dukungan dalam proses COP layaknya anak sungai yang mengaliri sungai utama.
Sekjen PBB Antonio Guterres dalam pidatonya menekankan fungsi Belem sebagai titik penting dalam perjalanan aksi iklim dunia “COP ini harus menjadi titik awal bagi satu dekade percepatan dan aksi nyata,”
. Ia mengusulkan peta jalan finansial yang jelas hingga 2035.
Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, menekankan pentingnya konferensi ini agar jauh dari retorika kosong dan lebih pada implementasi komitmen iklim yang nyata. Lula mengusulkan pembentukan mekanisme tata kelola iklim yang efektif di bawah naungan PBB, termasuk mempertimbangkan sanksi bagi negara-negara yang tidak memenuhi komitmen mereka “Kurangnya langkah nyata dari negara-negara maju justru mendorong negara-negara Global South untuk mempercepat transisi energi yang mandiri dan beragam, sekaligus mencari solusi pembiayaan iklim sendiri,”
.
Ketidakhadiran beberapa pejabat AS dalam COP30 mendapat sorotan. Kritik dilontarkan Presiden Kolombia Gustavo Petro yang menyatakan bahwa AS, sebagai penghasil emisi terbesar dalam sejarah, harusnya mengambil tanggung jawab lebih besar di saat krusial seperti ini.
Brasil sebagai tuan rumah, mendorong kerja sama Selatan-Selatan dengan mengundang banyak negara untuk melindungi hutan hujan Amazon. Tindak lanjut dari kerja sama ini dapat menciptakan lapangan kerja di Amerika Latin dan Afrika melalui pengembangan energi terbarukan. Lula juga menyoroti China sebagai contoh dalam transisi energi hijau melalui inovasi.
China, dengan kontribusi signifikan terhadap aksi iklim global, telah menjalin kerja sama dengan banyak negara berkembang. Hingga Oktober 2025, China telah menyepakati 55 nota kesepahaman tentang kerja sama iklim Selatan-Selatan. Solidaritas di antara negara-negara berkembang menjadi kunci transisi hijau yang lebih cepat dan efektif “Kurangnya langkah nyata dari negara-negara maju justru mendorong negara-negara Global South untuk mempercepat transisi energi yang mandiri dan beragam, sekaligus mencari solusi pembiayaan iklim sendiri,”
.













